CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Monday, January 24, 2011

Pemindahan Kiblat dan Reaksi Orang-Orang Bodoh

* Sekitar pemindahan Ka'bah (Al-Baqarah : 142-152)

Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, ‘Apakah yang memalingkan mereka (ummat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’ Katakanlah, ‘Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus’.” (Al-Baqarah [2]:142)
Huruf sin pada firman Allah SWT sayaqûlu untuk masa akan datang, dan mengandung dua makna:

Pertama: penguatan kejadiannya.
Kedua: kedekatan kejadiannya.

(as-sufahâ`u) jamak dari kata safîh (bodoh), iaitu orang yang perbuatan dan perkataannya berbeza dengan orang waras, begitu pula pada akidahnya; sesuai dengan firman Allah, “Dan ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri.” (Al-Baqarah [2]: 130)

[mâ wallahum ‘an qiblatihumul-latî kânû ‘alaihâ] yakni segala sesuatu yang memalingkan mereka, dan kiblat yang dahulu mereka tuju adalah Baitul Maqdis. Ketika Nabi SAW datang ke Madinah, beliau solat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, kemudian Allah SWT memerintahkannya untuk memalingkan kiblat ke arah Masjidil Haram atau Ka’bah. Allah SWT membalas sanggahan orang-orang bodoh tersebut dengan firman-Nya [qul lillâhi al-masyriqu wa al-maghrib], yakni Dia-lah Pemilik Timur dan Barat. Dia dapat mengatur kekuasaan-Nya itu sesuai dengan hikmah yang tersimpan di balik kehendak-Nya.

[yahdi man yasyâ`u ilâ shirâthim mustaqîm] di antara orang yang mendapat petunjuk jalan-Nya yang lurus adalah umat ini, yaitu dengan menuntun mereka kepada kiblat yang sesungguhnya (Ka’bah). Oleh karena itu, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sungguh Ka’bah itu dahulu merupakan kiblat para nabi, dan penyimpangan kiblat menuju Baitul Maqdis adalah perlakuan para pengikut nabi tersebut.”
Dengan ini, maka jalan lurus tanpa penyimpangan yang dimaksudkan di sini adalah solat dengan menghadap ke Ka’bah.

Hukum dan Hikmah Ayat:

1- Ilmu Allah SWT meliputi sesuatu yang akan terjadi, sesuai dengan firman-Nya [sayaqûlus sufahâ`u]. Telah diketahui bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang besar maupun kecil. Ilmu-Nya azali, tidak didahului dengan kebodohan; abadi, tidak disertai dengan kelupaan.

2- Hanya orang bodoh-lah yang menentang syariat Allah. Hal itu karena orang bodoh tidak mengetahui hikmah, atau mengetahuinya tapi mengikuti jalan selainnya. Orang yang tidak mengetahui sesuatu tentu tidak akan mengikutinya, oleh karena itu mereka pasti akan menentang apa yang Allah SWT lakukan, bahkan menentang perintah Allah SWT untuk menghadap ke Ka’bah.

3- Sebelum diperintahkan menghadap ke Ka’bah, dahulu Nabi SAW menghadap ke Baitul Maqdis. Dikatakan, karena ia ingin mengikuti Ahli Kitab sebelum tiba perintah pembedaan. Hal ini jelas terlihat ketika pertama kali beliau tiba di Madinah. Beliau senang mengikuti syariat yang mereka lakukan, tapi setelah tiba perintah pembedaan beliau membedakan syariat dengan mereka.

4- Kekuasaan Allah SWT meliputi segala sesuatu. [qul lillâhi al-masyriqu wa al-maghrib], yakni hanya Dia-lah Raja atau Pemilik segala sesuatu. Dia berhak mengatur segala sesuatu sesuai dengan hikmah yang terkandung di balik kehendak-Nya.

5- Petunjuk itu di tangan Allah. Dia-lah Penuntun siapa pun ke jalan yang lurus. Petunjuk itu hanyalah didapat dari Allah, dan ini tentunya bertentangan dengan sifat sombong atau bangga dengan pekerjaan.

Apabila seseorang bertanya, “Apakah petunjuk Allah SWT kepada manusia itu hanya sesuai dengan kehendak-Nya semata, ataukah didasari dengan hikmah?”

Jawabnya adalah: petunjuk Allah SWT itu disertai dengan hikmah. Segala sesuatu yang Allah putuskan itu pasti disertai dengan hikmah, baik keputusan itu merupakan hukum syariat ataukah hukum alam. Dalilnya adalah firman Allah, “Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (At-Tîn [95]: 8), dan firman-Nya, “Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Insân [76]: 29-30). Allah SWT menjelaskan bahwa kehendak-Nya itu sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya.

Petunjuk Allah SWT itu ada dua macam:

Petunjuk dilalah: petunjuk ini umum untuk semua orang; kafir dan mukmin; jahat dan baik.
Petunjuk taufiq: petunjuk ini khusus untuk orang yang Allah SWT kehendaki kepada kebenaran.

Allah SWT berfirman, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy-Syûrâ [42]: 52), ini adalah petunjuk taufiq. Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syûrâ [42]: 52), ini adalah petunjuk umum atau petunjuk pengarahan.
Contoh yang pertama, yaitu yang umum untuk semua orang, adalah firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Al-Insân [76]: 3), yakni manusia. Firman Allah, “Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu,” (Fushshilat [41]: 17), yakni Kami telah menunjuki mereka kepada jalan yang lurus, tapi mereka lebih memilih kesesatan daripada petunjuk.

6- Bahwa jalan Allah itu lurus, tidak ada kebengkokan di dalamnya. Ketika Allah SWT menyifati bahwa jalan-Nya lurus, itu menandakan bahwa jalan tersebut luas dan tidak terkhususkan untuk seseorang, melainkan setiap orang dapat masuk ke dalamnya. Ini juga menandakan bahawa jalan tersebut tidak terdapat kebengkokan di dalamnya, tapi justru terus bersambung hingga mencapai akhirat.

(Dinukil dari buku Ahkam min al-Qur`an al-Karim, karya Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin)